REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT
PENDIDIKAN
“Narasi Besar Awal dan Akhir Jaman”
Pada perkuliahan filsafat pendidikan yang telah berjalan
selama 5 pertemuan, Prof. Marsigit, MA., dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan, seperti biasanya mengawali perkuliahan di ruang 202B gedung lama
pascasarjana UNY dengan berdoa. Seperti pada umumnya bahwa semua mahasiswa S3
PEP A 2016 dibuat tidak berdaya dengan elegi-elegi yang diberikan dan
menggunakan bermacam variasi metode pembelajaran baik dimulai dengan tes
menjawab singkat, mengumpulkan pertanyaan, atau menggunakan metode ekspositori.
Kemudian, Prof. Marsigit meminta setiap mahasiswa mengajukan pertanyaan baik
yang berhubungan dengan tes maupun yang lainnya masih dalam konteks elegi-
elegi Prof. Marsigit di blog powermathematics.blogspot.com.
Selain itu, pada pertemuan-pertemuan perkuliahan filsafat
pendidikan, kami belajar melalui pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman baik
mengenai filsafat secara umum maupun elegi-elegi Prof. Marsigit yang termuat
dalam powermathematics.blogspot.com. Berikut cuplikan pertanyaan teman-teman
mulai dari saintifik sampai hakikat berpikir.
Pertanyaan pertama datang dari Pak Memet Sudaryanto
berhubungan dengan saintifik. Berikut penjelasan Prof. Marsigit, MA.
Yang memikirkan pak
memet itu berstruktur dan berhierarkhi yaitu dunianya pak memet. Berpikir
tentang saintifik, memikirkan pikirannya pak memet juga berstruktur dan
berhierakhi. Pak memet yang terdiri dari bermilyar-milyar sifat yang tidak
mampu disebutkan salah satunya adalah pikiran yang ternyata pikiran juga
berstruktur dan berhierakhi. Yang dipikirkan saintifik adalah obyeknya ternyata
obyeknya juga berstruktur berhierakhi. Nah secara filsafat, ada 3 macam
struktur yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Hakikatnya yang mana
merupakan ontologi. Benar dan salahnya seperti apa, merupakan epistimologi.
Siapa yang menyatakan kebenaran, merupakan epistimologi. Darimana kebenaran,
juga merupakan epistimologi. Ada berapa macam kebenaran, juga epistimologi.
Kemudian, apa yang menjadi baik buruknya kebenaran dan obyek tadi, disebut
etika. Kemudian apa yang menjadi keindahannya, itu estetika. Etika dan estetika
termasuk dalam aksiologi, yaitu manfaatnya. Apa yang menjadi manfaatnya kita
membicarakan itu semua. Jadi, maknanya juga berstruktur, epistimologinya juga
berstruktur dan berhierarkhi, etika dan estetikanya juga berstruktur dan
berhierarkhi. Kita hidup ini termasuk berfilsafat ini kan menelusuri
relung-relung struktur itu. Diam dalam gerak, gerak dalam diam, sempurna dalam
ketidaksempurnaan dan tidak sempurna dalam kesempurnaan itulah sifat kita. Maka
secerdas-cerdas orang kalau dia mampu memposisikan dirinya di dalam ruang dan
waktu. Maka orang bodoh dalam filsafat berarti orang yang tidak peduli terhadap
ruang dan waktu.
Saintifik yang terstruktur seperti
apa? Tadi ontologinya, epistimologinya, dan aksiologinya. Ontologi saintifik
dimana saintifik berasal dari kata dasar science antara ilmu dan pengetahuan.
Apa perbedaan ilmu dan pengetahuan? Ilmu sudah berstruktur dan berhierarkhi
lebih kompleks daripada sekedar pengetahuan dan pengetahuan adalah
unsur-unsurnya ilmu yang mana pengetahuan juga berstruktur dan berhierarkhi.
Pengetahuan yang paling sederhana adalah tentang yang ada. Maka yang ada pun
berstruktur dan berhierarkhi. Struktur dan hierakhi dari yang ada adalah wadah
dan isi. Maka ditemukan bahwa setiap yang ada itu wadah dan ternyata setiap
wadah menjadi isi. Itulah supaya manusia mempelajarinya tidak stagnan dan tidak
berhenti. Karena kalau berhenti mempelajarinya akan menjadi mitos. Maka
sebenar-benar filsafat adalah memikirkannya terus menerus. Kalau kita sudah
jelas, kita akan terancam mitos. Maka sebenar-benar ilmu adalah struktur
sederhana sampai kompleks yang berstrata dan berhierarkhi itu yang berjalan di dalam
ruang dan waktu atau menembus ruang dan waktu yang berhemenitika atau
menerjemahkan pasangannya masing-masing setiap aspeknya melintasi ruang dan
waktu, timeline dari jaman dulu sampai yang akan datang, awal akhir jaman.
Saintifik pada level filsafat, pada
level paradigma, pada level ideologi dimana ada anggapan bahwa pak menteri
fanatik dengan saintifik, pada level psikologi, pada level mengajar, pada level
belajar maka diri sendiri di implementasikan. Sundulnya ke atas maka saintifik
dalam arti spiritual. Seberapa jauh kita memaknai spiritual dengan metode
saintifik. Misalnya, coba sekarang amati Tuhan !. Tidak bisa hal itu dilakukan
hanya implementasi saja. Saintifik dari sisi filsafatnya itu positive. Jadi
jangankan metode saintifik, yang ada dan mungkin ada juga berstruktur
berhierarkhi awal akhir jaman dan berhemeneutika wadah dan isi. Dalam
pernikahan, ketika suami istri sedang bertengkar itu dinamakan sintesis yang
kemudian menghasilkan keturunan.
Pertanyaan kedua yang
dibahas adalah dari Martalia Ardiyaningrum yaitu Kenapa diam jawabannya mitos?
Diam itu sesuatu
yang sudah berhenti, sesuatu yang jelas. Mitos kalau diektensikan dan kalau
dicari genusnya dimana genus itu potensi awal, yang mentrigger, yang menjadi
gatra yang merupakan biji-bijian kalau terkena air maka dia akan tumbuh dengan
sendirinya. Kalau diliat dari gatranya, mitos itu adalah suatu pendapat yang
sudah diyakini kebenarannya tanpa dipikirkan. Ada mitos-mitos dalam arti yang
mensejarah, yang melegenda itu mitos-mitos primadonanya filsafat adalah
mitos-mitos jaman dahulu yang jamannya yunani. Seperti kalau melihat pelangi,
dianggap sebagai tanda kalau ada bidadari yang turun ke bumi. Kalau ada orang
yang memikirkannya bahwa itu bukanlah merupakan tanda melainkan proses
pembiasan cahaya yang terkena oleh air. Sehingga, semua pengetahuan anak kecil
itulah mitos dan semua pengetahuan yang dijalani tanpa dimengerti adalah mitos.
Akan tetapi, apabila mitos dinaikkan akan sampai batas keyakinan dan akidah
dalam hati yang tidak boleh dimitoskan. Misalnya, 1 syawal dimana dilaksanakan
tanpa dimengerti dalam hal ini melaksanakan saja tanpa konteks ibadah itu
adalah mitos. Akan tetapi jika satu syawal dilaksanakan dalam suatu ibadah maka
itu dinamakan keyakinan. Jadi mitos itu bergantung pada ruang dan waktunya.
Oleh karena itu, beberapa sifat daripada mitos antara lain adalah berhenti yang
tidak lagi dipikirkan kembali. Jadi sebaliknya, kalau manusia itu aktif maka
dia menjadi logos.
Terdapat pertanyaan
lanjutan mengenai mitos dari pak Nur Tjahjono yang dijawab oleh Prof. Marsigit
sebagai berikut.
Semua yang ada dan
yang mungkin ada itu ada apa-apanya. Hanya msalahnya apa-apanya itu sesuai atau
tidak. Nah. Tempat dan waktu, kita mngerti papan atau tempat karena adanya
waktu. Sebaliknya kita mengerti waktu karena ada tempat atau ruang dalam arti
yang seluas-luasnya. Pikiran kita itu ruang, ruang ini yang ruang, jauh itu
ruang, dekat itu ruang, tinggi itu ruang dan semua yang ada dan yang mungkin
ada itu juga ruang. Dan kita bisa memahami apa yang ada dan yang mungkin ada
dikarenakan waktu. Nah dikarenakan filsafat, maka kita bisa melakukan
eksperimen, seumpama tidak ada ruang maka dekat dan jauh ada disini. Sehingga
jika ruang ditiadakan, maka sudah disebut kiamat dan menjadi blackhole. Misal sekarang
waktu ditiadakan, awal dan akhir jaman itu menjadi sekarang, Palto lahirnya
sekarang, matinya juga sekarang, sehingga kiamat juga dan tidak ada kehidupan.
Pada kasus internet atau dunia maya
merupakan contoh tidak ada ruang menjadi ada sekali. Seperti kalau kita bilang
sangat banyak sampai-sampai berarti tidak ada. Contohnya, ada orang yang punya
banyak uang sampai bermilyar-milyar yang tak mampu untuk dihitung hal itu sama
dengan tidak ada. Saking banyaknya malah tidak ada. Jadi uang tidak usah banyak-banyak,
5 juta saja sudah cukup untuk dihitung.
Pertanyaan terpilih selanjutnya
adalah dari Pak Musa Marengke mengenai hakikat berpikir dalam filsafat dan
berikut uraaian penjelasan Prof. Marsigit, MA.
Awal filsafat
sampai akhir filsafat itu tentang berpikir. Semuanya filsafat itu berpikir,
maka semuanya adalah epistimologi. Padahal epistimologi tidak mungkin ada kalau
tidaak ada ontologi. Ontologi dan epistimologi tidak mungkin ada kalau tidak
ada aksiologi, sehingga mereka satu kesatuan. Wadah harus ada isi, isi harus
ada wadah. Semua sejak awal filsafat pertaama namanya filsafat alam, jaman
yunani dulu, ketika manusia ingin mengungkap misteri alam. Setelah terungkap,
manusia bosan dan mereka mulai mengungkap diri sendiri yang dinamakan metafisik
dalam diri sendiri. Sehingga mereka mempelajari hakikat berpikir.
Berpikir cukup dua macam saja, yang
pertama adalah menggunakan pikiran dan yang kedua menggunakan pengalaman.
Pikiran ke atas sampai spiritual itu bersifat tetap dan dalam hal tertentu
menjdi mitos dan dalam hal tertentu itu keyakinan, sebagian besar kuasa Tuhan
dan jangan sampai kuasa Tuhan dikatakan mitos karena sudah menyangkut agama.
Hal itu tidak sopan dan tak santun seorang filsafat mengatakan agama sebagai
mitos dikarenakan etik dan estetika. Filsafat itu bereksperimen dimana semua
kemungkinan itu diuji. Mengujnya cukup dipikir saja, obyeknya yang ada dan yang
mungkin ada, laboratoriumnya alam semesta ini, alatnya menggunakan bahasa
analog, metodenya hermeneutika intensif dan ekstensif. Analog artinya
strukturnya sama. Dunia itu strukturnya
sama yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Dan yang ada strukturnya cuma form
dan substain bentuk dan isinya. Maka sangat berdimensi mulai bumi sampai
langitnya dimana dimensinya yaitu yang ada dan yang mungkin ada.
Ketika pikiran dalam kontek logika
dan rasio maka ada dua macam yaitu ada pernulaan atau tidak. Hal ini juga
berlaku pada pengalaman yang terdiri atas dua macam yang sama yaitu ada
permulaan atau tidak. Permulaan itu artinya janji, maka berkeluarga itu
permulaannya adalah ijab qobul. Kalau dalam matematika permulaan janji adalah
definisi. Definisipun tidak sempurna dan menggunakan pengertia-pengertian yang
tidak difefinisikan yang sudah diaanggap menjadi pemahaman umum yang bisa
diketahui.
Struktur manusia pun tidak
berakhiran atau infinit regress. Seperti yang diungkapkan peraih nobel terakhir
yang merupakan orang jepang menemukan sel yang hidup, bagaimana sel makan,
bagaimana sel mencerna makanan dan bagamana sel mengeluarkan makan dan bagaimana
sel mati. Maka aku yang hidup seperti ini, bagaimana Marsigit makan, bagaimana
Marsigit membuat makan, bagaimana Marsigit hidup. Kehidupan Marsigit tadi
terdiri dari semua sel-sel yang
masing-masing hidup, itulah manusia. Yang dimakan itu hidup, proses, dan mati
yang dibuang juga begitu. Itulah mengapa rambut semakin panjang, kulit semakin
mengelupas, kemudian rambut rontok karena sudah mati, kuku tambah panjang.
Kalau diektensikan, menuju ke laut dimana laut juga hidup. Laut mengandung
plankton, plankton menghasilkan oksigen, oksigen menghasilkan uap atau angin,
angin menghasilkan gelombang laut, gelombang laut menghasilkan gerakan, gerakan
menghasilkan arus laut, arus laut membawa oksigen dan dimakan lagi oleh
plankton dan demikian seterusnya. Andaikata laut berhenti maka dunia pun
berhenti. Kiamat itu kalau tidak ada laut, maka pencemaran itu berbahaya karena
dia bisa mematikan biota laut. Maka Sultan Yogyakarta pada zaman dahulu membuat
mitos bahwa Laut Selatan ada yang jadi Ratu, sehingga kalau pakai baju daun
hijau muda akan menjadi tumbal. Termasuk 1 Suro, tidak boleh mengadakan
pernikahan. Jadi, orang itu hanya mengalaminya tetapi tidak mampu
menjelaskannya.
Sehingga, kita dapat melakukan
eksperimen, coba kalau pikiran tanpa pengalaman maka apa yang terjadi?
Sebaliknya pengalaman saja tanpa pikiran apa yang terjadi?. Jadi berfilsafat
itu harus bisa mencari seperti itu. Kejadian yang mengerikan bisa saja terjadi,
misalnya kita membuat matematika yang anggota himpunannya binatang-binatang,
batu-batu, setan-setan dan membuat aksioma bahwa setan ketemu setan menjdi
setan baru. Teorema berikutnya setan tidak bisa mati. Demikian seterusnya yang
bisa mengerikan hasilnya. Maka jika hanya berpikir saja itu separuh dunia,
separuh evidence, separuh akuntablitas, separuh validitas. Kalau hanya teori
saja, pikiran saja maka hanya separuhnya dan ilmunya sangat lemah. Tapi kalau hanya
pengalaman saja, juga sangat lemah.
Pikiran itu analitik yang konsisten
dan juga apriori. Kenapa apriori? Ibarat kereta api, kalau sudah ada relnya
kesana dan sudah jalan walaupun belum sampai ke Solo maka saya sudah
memperkirakan bahwa kereta api akan sampai ke Solo. Dengan demikian kita dapat
membuat rancangan-rancangan atau rencana-rencan walaupun belum terlaksana. Contoh
rencana membuat disertasi, disertasinya belum ada, tapi kita bisa memikirkan
sekarang yang merupakan apriori. Jadi apriori itu paham sebelum terjadi.
Sebaliknya pengalaman itu terdiri
atas sintesis dan aposteriori. Sintesis itu ialah segala sesuatu yang terikat
oleh ruang dan waktu. Bilangan 2 kalau dari pengalaman menjadi 2 kurus, 2
gemuk, 2 cantik. 2 mewakili sifat semilyar pangkat semilyar belum mampu aku
mengucapkannya. Jika dihilangkan ruangnya maka 2 itu tinggal valuenya dan 2
lebih kecil dari 3, jika 2 nya diturunkan ke bumi 2 dituliskan dalam baliho
lebih besar dari 7 yang dituliskan oleh bolpoin. Nah itu baru paham setelah
terjadi, dan itu merupakan dunia anak, dunia pengalaman, maka matematika bagi
anak bukan matematika logika, abstrak, berpikir tapi didefinisikan dengan
aktivitas sosial atau pengalaman. Sehingga memegang bisa menjadi bukti.
Selanjutnya, terdapat pembahasan yang paling dinanti dari semuanya yaitu filsafat dalam narasi besar awal akhir jaman.
Filsafat
adalah pola pikir (digambarkan dengan garis imajiner dalam pikiran) awal dan
akhir jaman. Jadi, obyek filsafat melahirkan aliran filsafat yang terdiri atas
yang bersifat tetap dan bersifat berubah. Yang tetap adalah permenides dan yang
berubah adalah heraditos.Yang tetap menuju ideal, yang ideal menuju transend
dan berada diatas garis imajiner. Yang bersifat berubah adalah kenyatan atau
yang bersifat real sehingga diperolehlah aliran realisme. Kalau yang tetap
bersifat satu maka disebut mono dan kalau yang tetap bersifat banyak berarti
plural. Akan tetapi plural kemudian tenggelam di bawah garis imajiner sehingga
disana adalah relatif saja, lahirlah pluralisme. Pluralisme merupakan urusan dunia,
sedangkan tetap, ideal, transend dan spiritual merupakan urusan akhirat.
Yang
ideal dan tetap bersifat logis dan logis bersifat pikiran dan berada dalam
pikiran. Karena logis, maka sifat yang lain adalah konsisten memakai pikiran
dan logika. Kebenarannya bersifat koheren. Sedangkan pluralisme, hukum sebab
akibat yang bersifat nyata dan bersifat persepsi atau indra. Maka, nantinya
akan melahirkan sifatnya empiris atau mencoba. Kebenarannya bersifat cocok atau
korespondensi.
Yang
ditulis disini adalah masyarakat, Jawa, kalau Jawa ada gendhing, nyanyian,
tarian, seni, gambyong, batik dan bermacam-macam. Tapi kalau di Aceh juga ada
nyanyian akan tetapi nyanyiannya mungkin berhubungan dengan Aceh. Jadi ini
adalah keserumpunan.
Nah
yang seperti ini, kalau saya buat struktur dunia, dari dibawah garis imajiner
sampai diatas garis imajiner, terdiri atas material, formal, normatif, dan
spiritual. Sehingga dunia itu berstruktur hierarkhi. Genusnya adalah yang ada,
misal di dalam biologi adalah genetikanya yang didalamnya ada kromosom X dan Y,
kalau yang ada didalamnya adalah wadah dan isi. Di dalam pikiran kita ada yang
“ADA” dan yang “MUNGKIN ADA” .
Hidup
itu adalah awal dan akhir jaman, kemudian interaksi antara wadah dan isinya.
Wadah terletak diatas garis imajiner dan isi terletak dibawah garis imajiner.
Maka sebenar-benarnya isi adalah bayangan dari wadahnya. Wadahnya berupa
pikiran, hati dan firman Tuhan. Seperti yang lain, rumus matematika adalah
wadahnya sedangkan contoh-contoh adalah isinya. Yang aku lihat, yang aku
dengar, dan yang aku jalani itu semua adalah bayangan dari pikiranku, mereka
semua akan hilang begitu aku tidur. Sebenar-benarnya kita berpikir adalah
berpikir yang ada dan yang mungkin ada. Maka sebenar-benar dunia, tidak lain
tidak bukan adalah pikiran kita masing-masing. Jadi kalau ingin melihat dunia,
maka tengoklah pada pikiran kita masing-masing. Tidak mudah bisa melihat
pikiran sendiri, hanya melalui kuliah filsafat.
Maka
unsur-unsurnya adalah rasionalisme (Rene Descartes) dan empirisme (D.Hume). Nah
sampailah pada aliran modern sebelum jaman modern sekitar 1500-1600, muncul dua
aliran besar jaman itu adalah paham rasionalisme Rene Descartes dan
empirismenya D.Hume. Tokoh-tokohnya yang ada saat itu ada Socrates, Plato
(dunia wadah), Aristoteles(dunia isi). Wajar saja Aristoteles membantah gurunya
Plato bahwa sebenar-benar ilmu kenyataan, menurut Plato sebenar-benar ilmu
adalah pikiran. Maka David Hume menyatakan bahwa sebenar-benar ilmu adalah
pengalaman. Sebenar-benar ilmu menurut Rene Descartes adalah Rasio. Tiadalah
ilmu kalau tanpa rasio, tiadalah ilmu kalau tanpa pengalaman.
Hei
hei Rene Descartes dan David Hume, kalian orang hebat, rasionalism hebat,
empirism juga hebat, tapi masing-masing mempunyai kelemahan. Rene Descartes
mendewa-dewakan rasio dan melupakan pengalaman. David Hume kelemahannya adalah
mendewa-dewakan pengalaman tapi lupa akan rasio. Aku punya teori, kata Immanuel
Kant (1671). Aku tidak akan menelan mentah teorimu (Rene D dan D.Hume) tapi aku
akan membreak-down, menurutku ilmu rasio terdiri atas analitik a priori dan
pengalaman adalah sintetik a posteriori. Sebenar-benar ilmu menurut Kant adalah
Sintentik A Priori. Jadi dari teori Descartes diambil A priori sedangkan dari
D.Hume diambil Sintetiknya. Sebenar-benar ilmu adalah logika dibangun diatas
pengalaman. Maka, matematika aksiomatik atau formalisme menurut Kant belum
sebagai ilmu. Sedangkan matematika sekolah atau matematika empirism juga belum
sebagai ilmu.
Memasuki
jaman modern, di awal 1857, tokoh yang terkenal adalah Auguste Compte. yang
memandang bahwa ilmu-ilmu sebelumnya tidak ada gunanya (meaningless atau
nonsense) karena menurutnya yang diperlukan sekarang adalah membangun dunia
untuk kesejahteraan umat. Ingat bahwa berfilsafat harus dilandasi dengan
spritual dan menetapkan hati sebagai komandan. Hal ini dikarenakan Compte
menyatakan bahwa menurutnya membangun dunia mempunyai struktur dimana agama
tidak dapat dijadikan landasan untuk membangun dunia karena agama itu tidak
logis oleh karena itu diletakkan di bawah struktur diikuti filsafat, dan
positive atau saintifik. Seandainya Menteri Pendidikan belajar filsafat mungkin
dia tidak jadi membuat Kurtilas setelah melihat struktur membangun dunia
Compte. Karena saintifik dibuat oleh Auguste Compte yang notabene meminggirkan
agama. Tenyata fenomena yang kita alami sekarang adalah fenomena Auguste
Compte.
Dalam
konteks Indonesia, struktural membangun dunia adalah Material, Formal, Normatif
dan Spiritual. Garis imajiner terus yang merupakan narasi besar atau
kecenderungan dunia dalam peta pendidikan dunia yang telah dipaparkan dalam
blog Prof. Marsigit. Dari positivisme Compte attau saintifik muncullah berbagai
macam ilmu bidang yang kesemuanya pakai logi-logi seperti biologi, psikologi
dan sebagainya. Tapi disana justru terbalik menjadi natural, karena agama
diturunkan sehingga terjadi anomali di masyarakat, ilmu natural ada diatas dan
humaniora ada di bawah. Ilmu-ilmu natural seperti matematika murni, fisika murni,
biologi murni dan semua ilmu-ilmu dasar ditopang oleh positive research.
Sehingga diyakini juga ketika membuat smartphone merk “s*ms*ng” ditopang oleh
research sehingga lupa akan keberadaan Allah SWT. Tetapi hasilnya mengagumkan
karena bisa membangun dunia. Ternyata mereka sedang berjuang membuktikan bahwa
membangun dunia tidak perlu memakai agama karena tidak logis untuk membangun
dunia sehingga memakai metode positive saintifik.
Narasi
besar yang dibuat menembus Indonesia, semua menteri-menteri, pejabat-pejabat
yang tidak kuat imannya terbawa arus kesana dengan gonajng ganjing metode
saintifik karena ketidaktahuannya. Nah, tanpa disadari fenomena Compte ini
telah menjelma menjadi fenomena kontemporer dengan struktur paling dasar
archaic diikuti tribal, tradisional, feodal, modern, pos modern (posmo) atau
power now yang dimulai sejak abad ke 18. Kemudian, ini berusaha mengembangkan
dunianya secara parsial sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya tak peduli
dengan pilar-pilar kapitalisme, pragmatisme, utilitisme, materialisme,
liberalisme, hedonisme dan spiritual ditaruh dibawah. Dan semenjak tahun
1920an, research tentang agama bukan di timur tengah tetapi dicari di daerah
tribal, muara-muara sungai, suku-suku aborigin di Australia. Disimpulkan bahwa
agama ternyata adalah hanya cocok bagi manusia Archaic (manusia batu, manusia
suku pedalaman atau tradisional). Jadi kalau ada embel-embel disini yang
kaitannya dengan spiritual, di Indonesia jilbab itu anggun dan cantik, tapi
kalau di New York jilbab itu tradisional darimana, tribal darimana.
Jangan-jangan kalau hitam itu ISIS jangan-jangan ada bomnya, karena disana ada
islamophobia.
Sehingga,
keadaan itu menggempur Indonesia habis-habisan sehingga akan mengalami
disorientasi, cita-cita sekedar cita-cita, trisakti sekedar trisakti dan
mandiri dibidang ekonomi, politik dan budaya sekedar utopia saja. Tetapi kita
mau tidak mau terseret dalam dunia sekarang, semuanya tanpa terkecuali karena
kita semuanya menjadi patung-patung. Maka kesana ini adalah kita hanya tinggal
residu, posisi kita sekarang bagaikan ikan-ikan kecil di dalam laut. Syukur
menyadari kalau kita merupakan ikan-ikan kecil di laut yang menghadapi fenomena
dunia narasi besarnya adalah dunia kontemporer. Terserah kita mau berubah
tergantung pakai metode atau aji-aji apa, sehingga ada keajaiban mutasi
genetika. Mutasi yang berbagai macam, ada mutasi sosial, gen psikologi ,
keluarga. Kalau mutasi sosial ingin cepat kata, kalau mutasi material ditemukan
katak segede kerbau karena terkena limbah nuklr. Kalau mutasi keluarga,
sekarang jaman modern, adanya tukar-menukar istri. Lengkap sudah narasi besar
dunia.
Contohnya
PEP (Penelitian dan Evaluasi Pendidikan) itu adalah satu titik, satu thesis,
supaya lengkap dunia itu maka dicarilah anti thesisnya. Sebenar-benar anti
thesis dari PEP adalah yang bukan PEP. Jadi, kalau kita merasa nyaman di dalam
PEP itu satu titik, separuh saja tidak. Jadi belum tentu lulusan Dr. PEP sudah
merangkul dunia, karena hanya satu titik PEP. Sebenar-sebenar kita berkewajiban
dari dalam diri sendiri mencari thesisnya, anti thesisnya kemudian mensintesisnya.
Evaluasi saja baru komponen, kalau tidak ada pendidikan, apanya yang akan di
evaluasi. Seperti memancing ikan tapi tidak ada airnya. Maka kalau mau
memancing harus membuat kolam dulu. Tapi seberapa jauh tanggung jawab moril
kita dalam mengembangkan sungai yang subur. Maka ternyata kolam, danau, sungai yang
subur banyak ikan pun tidak dipancng tidak apa-apa, tetapi malah dijala. Jadi,
teman-teman S3 yang hanya bikin instrumen evaluasi seperti tukang pancing tapi
gampang tergoda dalan memfitnah yang dipancing. Maka PEP harus hati-hati.
Sehingga, kita dalam penelitian harus bertanggung jawab, jangan hanya ambil
data kemudian ditinggal pergi, tanpa memberikan manfaat didalamnya.
Yurizka Melia Sari
PPs PEP A 2016
16701261003
Sumber : powermathematics.blogspot.com
Yurizka Melia Sari
PPs PEP A 2016
16701261003
Sumber : powermathematics.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar