Diberdayakan oleh Blogger.

MY LOVE, MY DREAM, MY PASSION

RSS

Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan : Narasi Besar Awal dan Akhir Jaman

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT PENDIDIKAN
“Narasi Besar Awal dan Akhir Jaman”

            Pada perkuliahan filsafat pendidikan yang telah berjalan selama 5 pertemuan, Prof. Marsigit, MA., dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan, seperti biasanya mengawali perkuliahan di ruang 202B gedung lama pascasarjana UNY dengan berdoa. Seperti pada umumnya bahwa semua mahasiswa S3 PEP A 2016 dibuat tidak berdaya dengan elegi-elegi yang diberikan dan menggunakan bermacam variasi metode pembelajaran baik dimulai dengan tes menjawab singkat, mengumpulkan pertanyaan, atau menggunakan metode ekspositori. Kemudian, Prof. Marsigit meminta setiap mahasiswa mengajukan pertanyaan baik yang berhubungan dengan tes maupun yang lainnya masih dalam konteks elegi- elegi Prof. Marsigit di blog powermathematics.blogspot.com.
            Selain itu, pada pertemuan-pertemuan perkuliahan filsafat pendidikan, kami belajar melalui pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman baik mengenai filsafat secara umum maupun elegi-elegi Prof. Marsigit yang termuat dalam powermathematics.blogspot.com. Berikut cuplikan pertanyaan teman-teman mulai dari saintifik sampai hakikat berpikir.
            Pertanyaan pertama datang dari Pak Memet Sudaryanto berhubungan dengan saintifik. Berikut penjelasan Prof. Marsigit, MA.
            Yang memikirkan pak memet itu berstruktur dan berhierarkhi yaitu dunianya pak memet. Berpikir tentang saintifik, memikirkan pikirannya pak memet juga berstruktur dan berhierakhi. Pak memet yang terdiri dari bermilyar-milyar sifat yang tidak mampu disebutkan salah satunya adalah pikiran yang ternyata pikiran juga berstruktur dan berhierakhi. Yang dipikirkan saintifik adalah obyeknya ternyata obyeknya juga berstruktur berhierakhi. Nah secara filsafat, ada 3 macam struktur yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Hakikatnya yang mana merupakan ontologi. Benar dan salahnya seperti apa, merupakan epistimologi. Siapa yang menyatakan kebenaran, merupakan epistimologi. Darimana kebenaran, juga merupakan epistimologi. Ada berapa macam kebenaran, juga epistimologi. Kemudian, apa yang menjadi baik buruknya kebenaran dan obyek tadi, disebut etika. Kemudian apa yang menjadi keindahannya, itu estetika. Etika dan estetika termasuk dalam aksiologi, yaitu manfaatnya. Apa yang menjadi manfaatnya kita membicarakan itu semua. Jadi, maknanya juga berstruktur, epistimologinya juga berstruktur dan berhierarkhi, etika dan estetikanya juga berstruktur dan berhierarkhi. Kita hidup ini termasuk berfilsafat ini kan menelusuri relung-relung struktur itu. Diam dalam gerak, gerak dalam diam, sempurna dalam ketidaksempurnaan dan tidak sempurna dalam kesempurnaan itulah sifat kita. Maka secerdas-cerdas orang kalau dia mampu memposisikan dirinya di dalam ruang dan waktu. Maka orang bodoh dalam filsafat berarti orang yang tidak peduli terhadap ruang dan waktu.
            Saintifik yang terstruktur seperti apa? Tadi ontologinya, epistimologinya, dan aksiologinya. Ontologi saintifik dimana saintifik berasal dari kata dasar science antara ilmu dan pengetahuan. Apa perbedaan ilmu dan pengetahuan? Ilmu sudah berstruktur dan berhierarkhi lebih kompleks daripada sekedar pengetahuan dan pengetahuan adalah unsur-unsurnya ilmu yang mana pengetahuan juga berstruktur dan berhierarkhi. Pengetahuan yang paling sederhana adalah tentang yang ada. Maka yang ada pun berstruktur dan berhierarkhi. Struktur dan hierakhi dari yang ada adalah wadah dan isi. Maka ditemukan bahwa setiap yang ada itu wadah dan ternyata setiap wadah menjadi isi. Itulah supaya manusia mempelajarinya tidak stagnan dan tidak berhenti. Karena kalau berhenti mempelajarinya akan menjadi mitos. Maka sebenar-benar filsafat adalah memikirkannya terus menerus. Kalau kita sudah jelas, kita akan terancam mitos. Maka sebenar-benar ilmu adalah struktur sederhana sampai kompleks yang berstrata dan berhierarkhi itu yang berjalan di dalam ruang dan waktu atau menembus ruang dan waktu yang berhemenitika atau menerjemahkan pasangannya masing-masing setiap aspeknya melintasi ruang dan waktu, timeline dari jaman dulu sampai yang akan datang, awal akhir jaman.
            Saintifik pada level filsafat, pada level paradigma, pada level ideologi dimana ada anggapan bahwa pak menteri fanatik dengan saintifik, pada level psikologi, pada level mengajar, pada level belajar maka diri sendiri di implementasikan. Sundulnya ke atas maka saintifik dalam arti spiritual. Seberapa jauh kita memaknai spiritual dengan metode saintifik. Misalnya, coba sekarang amati Tuhan !. Tidak bisa hal itu dilakukan hanya implementasi saja. Saintifik dari sisi filsafatnya itu positive. Jadi jangankan metode saintifik, yang ada dan mungkin ada juga berstruktur berhierarkhi awal akhir jaman dan berhemeneutika wadah dan isi. Dalam pernikahan, ketika suami istri sedang bertengkar itu dinamakan sintesis yang kemudian menghasilkan keturunan.
Pertanyaan kedua yang dibahas adalah dari Martalia Ardiyaningrum yaitu Kenapa diam jawabannya mitos?
            Diam itu sesuatu yang sudah berhenti, sesuatu yang jelas. Mitos kalau diektensikan dan kalau dicari genusnya dimana genus itu potensi awal, yang mentrigger, yang menjadi gatra yang merupakan biji-bijian kalau terkena air maka dia akan tumbuh dengan sendirinya. Kalau diliat dari gatranya, mitos itu adalah suatu pendapat yang sudah diyakini kebenarannya tanpa dipikirkan. Ada mitos-mitos dalam arti yang mensejarah, yang melegenda itu mitos-mitos primadonanya filsafat adalah mitos-mitos jaman dahulu yang jamannya yunani. Seperti kalau melihat pelangi, dianggap sebagai tanda kalau ada bidadari yang turun ke bumi. Kalau ada orang yang memikirkannya bahwa itu bukanlah merupakan tanda melainkan proses pembiasan cahaya yang terkena oleh air. Sehingga, semua pengetahuan anak kecil itulah mitos dan semua pengetahuan yang dijalani tanpa dimengerti adalah mitos. Akan tetapi, apabila mitos dinaikkan akan sampai batas keyakinan dan akidah dalam hati yang tidak boleh dimitoskan. Misalnya, 1 syawal dimana dilaksanakan tanpa dimengerti dalam hal ini melaksanakan saja tanpa konteks ibadah itu adalah mitos. Akan tetapi jika satu syawal dilaksanakan dalam suatu ibadah maka itu dinamakan keyakinan. Jadi mitos itu bergantung pada ruang dan waktunya. Oleh karena itu, beberapa sifat daripada mitos antara lain adalah berhenti yang tidak lagi dipikirkan kembali. Jadi sebaliknya, kalau manusia itu aktif maka dia menjadi logos.
Terdapat pertanyaan lanjutan mengenai mitos dari pak Nur Tjahjono yang dijawab oleh Prof. Marsigit sebagai berikut.
            Semua yang ada dan yang mungkin ada itu ada apa-apanya. Hanya msalahnya apa-apanya itu sesuai atau tidak. Nah. Tempat dan waktu, kita mngerti papan atau tempat karena adanya waktu. Sebaliknya kita mengerti waktu karena ada tempat atau ruang dalam arti yang seluas-luasnya. Pikiran kita itu ruang, ruang ini yang ruang, jauh itu ruang, dekat itu ruang, tinggi itu ruang dan semua yang ada dan yang mungkin ada itu juga ruang. Dan kita bisa memahami apa yang ada dan yang mungkin ada dikarenakan waktu. Nah dikarenakan filsafat, maka kita bisa melakukan eksperimen, seumpama tidak ada ruang maka dekat dan jauh ada disini. Sehingga jika ruang ditiadakan, maka sudah disebut kiamat dan menjadi blackhole. Misal sekarang waktu ditiadakan, awal dan akhir jaman itu menjadi sekarang, Palto lahirnya sekarang, matinya juga sekarang, sehingga kiamat juga dan tidak ada kehidupan.
            Pada kasus internet atau dunia maya merupakan contoh tidak ada ruang menjadi ada sekali. Seperti kalau kita bilang sangat banyak sampai-sampai berarti tidak ada. Contohnya, ada orang yang punya banyak uang sampai bermilyar-milyar yang tak mampu untuk dihitung hal itu sama dengan tidak ada. Saking banyaknya malah tidak ada. Jadi uang tidak usah banyak-banyak, 5 juta saja sudah cukup untuk dihitung.
Pertanyaan terpilih selanjutnya adalah dari Pak Musa Marengke mengenai hakikat berpikir dalam filsafat dan berikut uraaian penjelasan Prof. Marsigit, MA.
            Awal filsafat sampai akhir filsafat itu tentang berpikir. Semuanya filsafat itu berpikir, maka semuanya adalah epistimologi. Padahal epistimologi tidak mungkin ada kalau tidaak ada ontologi. Ontologi dan epistimologi tidak mungkin ada kalau tidak ada aksiologi, sehingga mereka satu kesatuan. Wadah harus ada isi, isi harus ada wadah. Semua sejak awal filsafat pertaama namanya filsafat alam, jaman yunani dulu, ketika manusia ingin mengungkap misteri alam. Setelah terungkap, manusia bosan dan mereka mulai mengungkap diri sendiri yang dinamakan metafisik dalam diri sendiri. Sehingga mereka mempelajari hakikat berpikir.
            Berpikir cukup dua macam saja, yang pertama adalah menggunakan pikiran dan yang kedua menggunakan pengalaman. Pikiran ke atas sampai spiritual itu bersifat tetap dan dalam hal tertentu menjdi mitos dan dalam hal tertentu itu keyakinan, sebagian besar kuasa Tuhan dan jangan sampai kuasa Tuhan dikatakan mitos karena sudah menyangkut agama. Hal itu tidak sopan dan tak santun seorang filsafat mengatakan agama sebagai mitos dikarenakan etik dan estetika. Filsafat itu bereksperimen dimana semua kemungkinan itu diuji. Mengujnya cukup dipikir saja, obyeknya yang ada dan yang mungkin ada, laboratoriumnya alam semesta ini, alatnya menggunakan bahasa analog, metodenya hermeneutika intensif dan ekstensif. Analog artinya strukturnya sama.  Dunia itu strukturnya sama yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Dan yang ada strukturnya cuma form dan substain bentuk dan isinya. Maka sangat berdimensi mulai bumi sampai langitnya dimana dimensinya yaitu yang ada dan yang mungkin ada.
Ketika pikiran dalam kontek logika dan rasio maka ada dua macam yaitu ada pernulaan atau tidak. Hal ini juga berlaku pada pengalaman yang terdiri atas dua macam yang sama yaitu ada permulaan atau tidak. Permulaan itu artinya janji, maka berkeluarga itu permulaannya adalah ijab qobul. Kalau dalam matematika permulaan janji adalah definisi. Definisipun tidak sempurna dan menggunakan pengertia-pengertian yang tidak difefinisikan yang sudah diaanggap menjadi pemahaman umum yang bisa diketahui. 
Struktur manusia pun tidak berakhiran atau infinit regress. Seperti yang diungkapkan peraih nobel terakhir yang merupakan orang jepang menemukan sel yang hidup, bagaimana sel makan, bagaimana sel mencerna makanan dan bagamana sel mengeluarkan makan dan bagaimana sel mati. Maka aku yang hidup seperti ini, bagaimana Marsigit makan, bagaimana Marsigit membuat makan, bagaimana Marsigit hidup. Kehidupan Marsigit tadi terdiri dari  semua sel-sel yang masing-masing hidup, itulah manusia. Yang dimakan itu hidup, proses, dan mati yang dibuang juga begitu. Itulah mengapa rambut semakin panjang, kulit semakin mengelupas, kemudian rambut rontok karena sudah mati, kuku tambah panjang. Kalau diektensikan, menuju ke laut dimana laut juga hidup. Laut mengandung plankton, plankton menghasilkan oksigen, oksigen menghasilkan uap atau angin, angin menghasilkan gelombang laut, gelombang laut menghasilkan gerakan, gerakan menghasilkan arus laut, arus laut membawa oksigen dan dimakan lagi oleh plankton dan demikian seterusnya. Andaikata laut berhenti maka dunia pun berhenti. Kiamat itu kalau tidak ada laut, maka pencemaran itu berbahaya karena dia bisa mematikan biota laut. Maka Sultan Yogyakarta pada zaman dahulu membuat mitos bahwa Laut Selatan ada yang jadi Ratu, sehingga kalau pakai baju daun hijau muda akan menjadi tumbal. Termasuk 1 Suro, tidak boleh mengadakan pernikahan. Jadi, orang itu hanya mengalaminya tetapi tidak mampu menjelaskannya.
Sehingga, kita dapat melakukan eksperimen, coba kalau pikiran tanpa pengalaman maka apa yang terjadi? Sebaliknya pengalaman saja tanpa pikiran apa yang terjadi?. Jadi berfilsafat itu harus bisa mencari seperti itu. Kejadian yang mengerikan bisa saja terjadi, misalnya kita membuat matematika yang anggota himpunannya binatang-binatang, batu-batu, setan-setan dan membuat aksioma bahwa setan ketemu setan menjdi setan baru. Teorema berikutnya setan tidak bisa mati. Demikian seterusnya yang bisa mengerikan hasilnya. Maka jika hanya berpikir saja itu separuh dunia, separuh evidence, separuh akuntablitas, separuh validitas. Kalau hanya teori saja, pikiran saja maka hanya separuhnya dan ilmunya sangat lemah. Tapi kalau hanya pengalaman saja, juga sangat lemah.
Pikiran itu analitik yang konsisten dan juga apriori. Kenapa apriori? Ibarat kereta api, kalau sudah ada relnya kesana dan sudah jalan walaupun belum sampai ke Solo maka saya sudah memperkirakan bahwa kereta api akan sampai ke Solo. Dengan demikian kita dapat membuat rancangan-rancangan atau rencana-rencan walaupun belum terlaksana. Contoh rencana membuat disertasi, disertasinya belum ada, tapi kita bisa memikirkan sekarang yang merupakan apriori. Jadi apriori itu paham sebelum terjadi.
Sebaliknya pengalaman itu terdiri atas sintesis dan aposteriori. Sintesis itu ialah segala sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu. Bilangan 2 kalau dari pengalaman menjadi 2 kurus, 2 gemuk, 2 cantik. 2 mewakili sifat semilyar pangkat semilyar belum mampu aku mengucapkannya. Jika dihilangkan ruangnya maka 2 itu tinggal valuenya dan 2 lebih kecil dari 3, jika 2 nya diturunkan ke bumi 2 dituliskan dalam baliho lebih besar dari 7 yang dituliskan oleh bolpoin. Nah itu baru paham setelah terjadi, dan itu merupakan dunia anak, dunia pengalaman, maka matematika bagi anak bukan matematika logika, abstrak, berpikir tapi didefinisikan dengan aktivitas sosial atau pengalaman. Sehingga memegang bisa menjadi bukti.

            Selanjutnya, terdapat pembahasan yang paling dinanti dari semuanya yaitu filsafat dalam narasi besar awal akhir jaman.

Filsafat adalah pola pikir (digambarkan dengan garis imajiner dalam pikiran) awal dan akhir jaman. Jadi, obyek filsafat melahirkan aliran filsafat yang terdiri atas yang bersifat tetap dan bersifat berubah. Yang tetap adalah permenides dan yang berubah adalah heraditos.Yang tetap menuju ideal, yang ideal menuju transend dan berada diatas garis imajiner. Yang bersifat berubah adalah kenyatan atau yang bersifat real sehingga diperolehlah aliran realisme. Kalau yang tetap bersifat satu maka disebut mono dan kalau yang tetap bersifat banyak berarti plural. Akan tetapi plural kemudian tenggelam di bawah garis imajiner sehingga disana adalah relatif saja, lahirlah pluralisme. Pluralisme merupakan urusan dunia, sedangkan tetap, ideal, transend dan spiritual merupakan urusan akhirat.
Yang ideal dan tetap bersifat logis dan logis bersifat pikiran dan berada dalam pikiran. Karena logis, maka sifat yang lain adalah konsisten memakai pikiran dan logika. Kebenarannya bersifat koheren. Sedangkan pluralisme, hukum sebab akibat yang bersifat nyata dan bersifat persepsi atau indra. Maka, nantinya akan melahirkan sifatnya empiris atau mencoba. Kebenarannya bersifat cocok atau korespondensi.
Yang ditulis disini adalah masyarakat, Jawa, kalau Jawa ada gendhing, nyanyian, tarian, seni, gambyong, batik dan bermacam-macam. Tapi kalau di Aceh juga ada nyanyian akan tetapi nyanyiannya mungkin berhubungan dengan Aceh. Jadi ini adalah keserumpunan.
Nah yang seperti ini, kalau saya buat struktur dunia, dari dibawah garis imajiner sampai diatas garis imajiner, terdiri atas material, formal, normatif, dan spiritual. Sehingga dunia itu berstruktur hierarkhi. Genusnya adalah yang ada, misal di dalam biologi adalah genetikanya yang didalamnya ada kromosom X dan Y, kalau yang ada didalamnya adalah wadah dan isi. Di dalam pikiran kita ada yang “ADA” dan yang “MUNGKIN ADA” .
Hidup itu adalah awal dan akhir jaman, kemudian interaksi antara wadah dan isinya. Wadah terletak diatas garis imajiner dan isi terletak dibawah garis imajiner. Maka sebenar-benarnya isi adalah bayangan dari wadahnya. Wadahnya berupa pikiran, hati dan firman Tuhan. Seperti yang lain, rumus matematika adalah wadahnya sedangkan contoh-contoh adalah isinya. Yang aku lihat, yang aku dengar, dan yang aku jalani itu semua adalah bayangan dari pikiranku, mereka semua akan hilang begitu aku tidur. Sebenar-benarnya kita berpikir adalah berpikir yang ada dan yang mungkin ada. Maka sebenar-benar dunia, tidak lain tidak bukan adalah pikiran kita masing-masing. Jadi kalau ingin melihat dunia, maka tengoklah pada pikiran kita masing-masing. Tidak mudah bisa melihat pikiran sendiri, hanya melalui kuliah filsafat.
Maka unsur-unsurnya adalah rasionalisme (Rene Descartes) dan empirisme (D.Hume). Nah sampailah pada aliran modern sebelum jaman modern sekitar 1500-1600, muncul dua aliran besar jaman itu adalah paham rasionalisme Rene Descartes dan empirismenya D.Hume. Tokoh-tokohnya yang ada saat itu ada Socrates, Plato (dunia wadah), Aristoteles(dunia isi). Wajar saja Aristoteles membantah gurunya Plato bahwa sebenar-benar ilmu kenyataan, menurut Plato sebenar-benar ilmu adalah pikiran. Maka David Hume menyatakan bahwa sebenar-benar ilmu adalah pengalaman. Sebenar-benar ilmu menurut Rene Descartes adalah Rasio. Tiadalah ilmu kalau tanpa rasio, tiadalah ilmu kalau tanpa pengalaman.
Hei hei Rene Descartes dan David Hume, kalian orang hebat, rasionalism hebat, empirism juga hebat, tapi masing-masing mempunyai kelemahan. Rene Descartes mendewa-dewakan rasio dan melupakan pengalaman. David Hume kelemahannya adalah mendewa-dewakan pengalaman tapi lupa akan rasio. Aku punya teori, kata Immanuel Kant (1671). Aku tidak akan menelan mentah teorimu (Rene D dan D.Hume) tapi aku akan membreak-down, menurutku ilmu rasio terdiri atas analitik a priori dan pengalaman adalah sintetik a posteriori. Sebenar-benar ilmu menurut Kant adalah Sintentik A Priori. Jadi dari teori Descartes diambil A priori sedangkan dari D.Hume diambil Sintetiknya. Sebenar-benar ilmu adalah logika dibangun diatas pengalaman. Maka, matematika aksiomatik atau formalisme menurut Kant belum sebagai ilmu. Sedangkan matematika sekolah atau matematika empirism juga belum sebagai ilmu.
Memasuki jaman modern, di awal 1857, tokoh yang terkenal adalah Auguste Compte. yang memandang bahwa ilmu-ilmu sebelumnya tidak ada gunanya (meaningless atau nonsense) karena menurutnya yang diperlukan sekarang adalah membangun dunia untuk kesejahteraan umat. Ingat bahwa berfilsafat harus dilandasi dengan spritual dan menetapkan hati sebagai komandan. Hal ini dikarenakan Compte menyatakan bahwa menurutnya membangun dunia mempunyai struktur dimana agama tidak dapat dijadikan landasan untuk membangun dunia karena agama itu tidak logis oleh karena itu diletakkan di bawah struktur diikuti filsafat, dan positive atau saintifik. Seandainya Menteri Pendidikan belajar filsafat mungkin dia tidak jadi membuat Kurtilas setelah melihat struktur membangun dunia Compte. Karena saintifik dibuat oleh Auguste Compte yang notabene meminggirkan agama. Tenyata fenomena yang kita alami sekarang adalah fenomena Auguste Compte.
Dalam konteks Indonesia, struktural membangun dunia adalah Material, Formal, Normatif dan Spiritual. Garis imajiner terus yang merupakan narasi besar atau kecenderungan dunia dalam peta pendidikan dunia yang telah dipaparkan dalam blog Prof. Marsigit. Dari positivisme Compte attau saintifik muncullah berbagai macam ilmu bidang yang kesemuanya pakai logi-logi seperti biologi, psikologi dan sebagainya. Tapi disana justru terbalik menjadi natural, karena agama diturunkan sehingga terjadi anomali di masyarakat, ilmu natural ada diatas dan humaniora ada di bawah. Ilmu-ilmu natural seperti matematika murni, fisika murni, biologi murni dan semua ilmu-ilmu dasar ditopang oleh positive research. Sehingga diyakini juga ketika membuat smartphone merk “s*ms*ng” ditopang oleh research sehingga lupa akan keberadaan Allah SWT. Tetapi hasilnya mengagumkan karena bisa membangun dunia. Ternyata mereka sedang berjuang membuktikan bahwa membangun dunia tidak perlu memakai agama karena tidak logis untuk membangun dunia sehingga memakai metode positive saintifik.
Narasi besar yang dibuat menembus Indonesia, semua menteri-menteri, pejabat-pejabat yang tidak kuat imannya terbawa arus kesana dengan gonajng ganjing metode saintifik karena ketidaktahuannya. Nah, tanpa disadari fenomena Compte ini telah menjelma menjadi fenomena kontemporer dengan struktur paling dasar archaic diikuti tribal, tradisional, feodal, modern, pos modern (posmo) atau power now yang dimulai sejak abad ke 18. Kemudian, ini berusaha mengembangkan dunianya secara parsial sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya tak peduli dengan pilar-pilar kapitalisme, pragmatisme, utilitisme, materialisme, liberalisme, hedonisme dan spiritual ditaruh dibawah. Dan semenjak tahun 1920an, research tentang agama bukan di timur tengah tetapi dicari di daerah tribal, muara-muara sungai, suku-suku aborigin di Australia. Disimpulkan bahwa agama ternyata adalah hanya cocok bagi manusia Archaic (manusia batu, manusia suku pedalaman atau tradisional). Jadi kalau ada embel-embel disini yang kaitannya dengan spiritual, di Indonesia jilbab itu anggun dan cantik, tapi kalau di New York jilbab itu tradisional darimana, tribal darimana. Jangan-jangan kalau hitam itu ISIS jangan-jangan ada bomnya, karena disana ada islamophobia.
Sehingga, keadaan itu menggempur Indonesia habis-habisan sehingga akan mengalami disorientasi, cita-cita sekedar cita-cita, trisakti sekedar trisakti dan mandiri dibidang ekonomi, politik dan budaya sekedar utopia saja. Tetapi kita mau tidak mau terseret dalam dunia sekarang, semuanya tanpa terkecuali karena kita semuanya menjadi patung-patung. Maka kesana ini adalah kita hanya tinggal residu, posisi kita sekarang bagaikan ikan-ikan kecil di dalam laut. Syukur menyadari kalau kita merupakan ikan-ikan kecil di laut yang menghadapi fenomena dunia narasi besarnya adalah dunia kontemporer. Terserah kita mau berubah tergantung pakai metode atau aji-aji apa, sehingga ada keajaiban mutasi genetika. Mutasi yang berbagai macam, ada mutasi sosial, gen psikologi , keluarga. Kalau mutasi sosial ingin cepat kata, kalau mutasi material ditemukan katak segede kerbau karena terkena limbah nuklr. Kalau mutasi keluarga, sekarang jaman modern, adanya tukar-menukar istri. Lengkap sudah narasi besar dunia.

Contohnya PEP (Penelitian dan Evaluasi Pendidikan) itu adalah satu titik, satu thesis, supaya lengkap dunia itu maka dicarilah anti thesisnya. Sebenar-benar anti thesis dari PEP adalah yang bukan PEP. Jadi, kalau kita merasa nyaman di dalam PEP itu satu titik, separuh saja tidak. Jadi belum tentu lulusan Dr. PEP sudah merangkul dunia, karena hanya satu titik PEP. Sebenar-sebenar kita berkewajiban dari dalam diri sendiri mencari thesisnya, anti thesisnya kemudian mensintesisnya. Evaluasi saja baru komponen, kalau tidak ada pendidikan, apanya yang akan di evaluasi. Seperti memancing ikan tapi tidak ada airnya. Maka kalau mau memancing harus membuat kolam dulu. Tapi seberapa jauh tanggung jawab moril kita dalam mengembangkan sungai yang subur. Maka ternyata kolam, danau, sungai yang subur banyak ikan pun tidak dipancng tidak apa-apa, tetapi malah dijala. Jadi, teman-teman S3 yang hanya bikin instrumen evaluasi seperti tukang pancing tapi gampang tergoda dalan memfitnah yang dipancing. Maka PEP harus hati-hati. Sehingga, kita dalam penelitian harus bertanggung jawab, jangan hanya ambil data kemudian ditinggal pergi, tanpa memberikan manfaat didalamnya.


Yurizka Melia Sari
PPs PEP A 2016
16701261003
Sumber : powermathematics.blogspot.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar